LAMPUNG TIMUR – Menyikapi tentang keluhan belasan masyarakat petani sebab area lahan sawah mereka telah beralih fungsi. Oleh karena itu, Kepala Desa (Kades) Tanjung Kesuma Kecamatan Purbolinggo, Sugiyanto di pertengahan 2018 silam menindaklanjuti dengan cara melakukan penelusuran untuk mencari penyebab tersumbatnya air.
Setelah ditelusuri ternyata alih fungsi lahan sawah terjadi diduga akibat dibagian hulu jaringan irigasi tersier diduga diserobot oleh Hi. BR pengurus Yayasan TBAH Desa setempat. Daerah jaringan irigasi tersier digunakannya untuk membangun gedung pondok pesantren (Ponpes) dan sekolah. Sehingga saluran air jaringan irigasi tersier tersebut mengalami penyumbatan bahkan diduga dirusak dan diputus atau dibongkar.
Seharusnya, pengurus Yayasan TBAH itu mendirikan bangunan sesuai garis sempadan jaringan irigasi tersier, tidak merubah, menutup dan merusak apalagi sampai memutus atau membongkar bangunan jaringan irigasi tersier yang telah permanen.
“Terkait saluran irigasi tersier yang dilalui bangunan pondok memang sudah ada keluhan dari masyarakat, saluran itu tidak bisa dialiri air, air nggak bisa nyampek ke (area sawah) sana,” kata Sugiyanto pada Jum’at, 13/3 jam 10.00 WIB diruang kerjanya.
Bukan hanya dirinya, Kades Tanjung Kesuma bersama dengan seluruh perangkat desa dan mitranya langsung melakukan inspeksi ke lokasi jaringan irigasi tersier yang berlokasi dilingkungan yayasan TBAH.
“Kami bersama BPD, semua perangkat Pemerintahan Desa dan masyarakat yang mempunyai lahan meninjau ke lokasi saluran irigasi itu. Kami turun langsung ingin mengetahui dimana letak penyebab penyumbatan tersebut, LPM juga ada,” kata Kades Tanjung Kesuma.
Indikasinya terjadi penyumbatan sedimen lumpur yang harus dilakukan kegiatan pekerjaan pengangkatan atau pembersihan.
“Setelah ke lokasi, diketahui terjadi penyumbatan di seputaran sepanjang aliran itu terjadi pendangkalan. Kemudian, alternatifnya harus dibersihkan dan diangkat (sedimen lumpur) betul, itu bisa dilakukan masyarakat pengguna, disuruh gotong-royong,” terang pejabat Kades Tanjung Kesuma periode kedua itu.
Masyarakat tidak dapat melakukan pengangkatan sedimen lumpur sebab diatas jaringan irigasi tersier dimaksud terdapat bangunan pondok pesantren dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Kesehatan.
“Tetapi saluran (tersier) itu melalui pondok, pada saat ini, itu ada bangunan SMK, masyarakat tidak bisa bersihkan. Bagaimana pun nggak bisa masuk di gorong-gorong, diatasnya ada bangunan, itu masalahnya,” jelasnya.
“Kami sebetulnya, hanya mediasi, mewakili masyarakat dengan pihak pondok. Pada saat itu ya memang atas mediasi dengan BPD, akan dibangunkan juga alternatif saluran baru, agar sawah masyarakat itu bisa terairi dicarilah alternatif lain, rencananya,” urainya.
“Tapi, kami juga minta solusi terbaik dari pihak pondok, karena saluran dilalui bangunan pondok, karena ketika membangun saluran baru harus ada kontribusi. Berapa persentasenya waktu itu belum mencapai kesepakatan, kami hanya mendorong para petani,” paparnya.
“Kalau petani ada reaksi, ayo kami tindaklanjuti. Kalau semua petani sekitar sepuluh sampai lima belas orang, lahannya mungkin lima hektar, nggak bisa di (tanam padi) sawah ya di (tanam) jagung,” imbuhnya.
“Kalo dibangun itu kurang lebih ya dua puluh meter, yang diatasnya ada bangunan itu, jadi ya kalaupun dimasukin orang (bis daker) nggak bisa, sulit, walaupun disogok itu nggak mungkin,” ulasnya.
“Kemarin, ketika dilakukan inspeksi disimpulkan, titik itu (YTBAH) nggak bisa dibersihkan. Setelah itu kami tunggu reaksi para petani untuk mediasi selanjutnya, itulah ceritanya,” tutup Kades Tanjung Kesuma.
Perihal tersebut menjadi sorotan Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Bersama Kita Bisa (Berkitab) Kabupaten Lampung Timur, Mudabbar Radin Imbo.
“Ini, indikasinya penyerobotan tanah negara karena itu jaringan irigasi, apalagi sudah merugikan masyarakat. Ketentuannya, kapasitas saluran irigasi tersier mengairi area sawah seluas lima puluh sampai seratus hektar,” tegas Mudabbar Radin Imbo pada Jum’at, 13/3.
Akibat beralih fungsi, masyarakat petani dirugikan, petani tidak bisa bercocok tanam padi, sementara hasil jagung dan ubi kayu tak memadai.
“Kalkulasinya, hasil panen 6 ton gabah kering giling (GKG) perhektar, dalam setahun bisa 2 kali panen dapet padi 12 ton, kalau dijual harga 6 ribu perkilo, petani dapat uang 72 juta pertahun,” papar Ketua DPD LSM BERKITAB Lamtim.
“Sawah beralih fungsi seluas 8 hektar, hasil panen 96 ton GKG setahun, jika dikalkulasikan uang hasilnya 576 juta dan dijual hingga total kerugian petani 4,6 milyaran dari 768 ton GKG per 8 tahun, setidaknya kerugian itu juga harus diganti oleh pengurus yayasan,” tandasnya.
“Untuk diketahui, hasil panen 768 ton GKG bisa untuk memenuhi kebutuhan beras sekitar 500 KK, rinciannya, untuk makan butuh beras 50 kilogram per-KK perbulan, itulah tujuan utama Pemerintah menggalakkan program ketahanan pangan, cetak sawah baru dan melarang alih fungsi sawah,” jelas Muda.
Ia berharap kepada Hi. BR pengurus Yayasan TBAH Desa Tanjung Kesuma supaya bisa mempertanggungjawabkan tindakannya tersebut dan Kepolisian memproses dugaan penyerobotan tanah tersebut.
“Kami berharap pengurus yayasan normalkan saluran jaringan irigasi tersier seperti awal, bayar uang ganti rugi petani serta Kepolisian mengusut dugaan penyerobotan ruang sempadan jaringan irigasi sebagai tanah negara, karena berakibat terjadi kerugian ditengah kehidupan sosial masyarakat dan juga negara,” harapnya.
Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2001 Tentang Irigasi
Pasal 43
(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat sesuai dengan kewenangannya mempertahankan sistem irigasi secara berkelanjutan dengan mewujudkan kelestarian sumberdaya air, melakukan pemberdayaan perkumpulan petani pemakai air, mencegah alih
fungsi lahan beririgasi untuk kepentingan lain dan mendukung peningkatan pendapatan petani.
(2) Untuk menjamin keberlanjutan sistem irigasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan pengaturan dan bersama masyarakat melakukan penegakan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan irigasi.
Pasal 44
(1) Perubahan penggunaan lahan beririgasi untuk kepentingan selain pertanian dengan tujuan komersial dalam suatu daerah irigasi yang telah ditetapkan, harus memperoleh izin terlebih dahulu dari Pemerintah Daerah dengan mengacu pada tata ruang yang telah ditetapkan, serta memberikan kompensasi yang nilainya setara dengan biaya pembangunan jaringan irigasi dan setara dengan biaya pencetakan lahan beririgasi baru, yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah.
(2) Pemerintah Daerah melakukan penertiban pada lahan beririgasi yang tidak berfungsi dengan memfungsikan kembali sesuai dengan tata ruang yang telah ditetapkan.
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan,
Pasal 1 Angka 3. Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional.
Pasal 44
(1) Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilindungi dan dilarang
dialihfungsikan.
Pasal 72
(1) Orang perseorangan yang melakukan alih fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 44 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Orang.
Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Penetapan Dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Pasal 35 Ayat (1) Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialihfungsikan.
Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2019 Tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah,
Pasal 4 Ayat (2)
a. mengoordinasikan pelaksanaan verifikasi penetapan peta Lahan Sawah yang dilindungi;
b. melaksanakan sinkronisasi hasil verifikasi Lahan Sawah sebagaimana dimaksud;
c. mengusulkan penetapan/peta Lahan Sawah yang dilindungi; dan
d. melaksanakan pemantauan dan evaluasi terhadap pelaksanaan Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah