LAMPUNG TIMUR – Pelaku penyuapan didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 209 ayat 1 diancam hujuman 2 tahun penjara, Sabtu (4/1).
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Kesehatan Alwalindo Lampung Timur, Musannif Effendi Yusnida SH MH menegaskan, di Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tindak pidana suap diatur dalam Pasal 209 ayat (1), yang berbunyi sebagai berikut Penyuapan merupakan tindak pidana yang kerap terjadi dan bersinggungan dengan pejabat pemerintahan yang dilakukan oleh pengusaha/swasta atau partai politik. Untuk Bentuk suap antara lain dapat berupa pemberian barang, uang sogok, dan sebagainya.
“Tujuan suap biasanya adalah untuk mempengaruhi pengambilan keputusan dari orang atau pegawai atau pejabat publik yang disuap. Dengan maksud menggerakkannya untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya,” jelas fendi sapaan akrabnya.
Menurutnya, Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tindak pidana suap diatur dalam Pasal 209 ayat (1), yang berbunyi Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan yakni Barang siapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang pejabat dengan maksud menggerakkannya untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
Selain itu wakil dekan fakultas hukum universitas muhammadyah kota metro DR Prima Angkupi SH MH,. M.Kn menjelaskan, di dalam Ayat kedua pasal 209 KUHP berbunyi Barang siapa memberi sesuatu kepada seorang pejabat karena atau berhubung dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
Dari pengertian tersebut, setidaknya terdapat tiga aspek yang dapat ditinjau berkaitan dengan praktik suap menyuap dalam pemerintahan. Pertama, berkaitan dengan jenis pemberian. Kedua, waktu penyerahan pemberian. Ketiga, aspek harapan dari si pemberi dan si penerima menunjukkan bahwa perbuatan suap menyuap meliputi empat unsur, yaitu pemberi suap, sesuatu pemberian, penerima suap dan harapan dari penyuap.
“Selain diatur dalam KUHP, suap juga telah diatur UU Korupsi, yakni UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Diatur bahwa ada beberapa kategori suap menyuap, tepatnya dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a UU a quo,” tutupnya.
Fendi menambahkan apabila penerima suap dibawah daya paksa (overmacht) didalam pasal 48 KUHP tidak dipidana, seseorang yang melakukan perbuatan yang didoromg oleh daya paksa yang di atur di dalam pasal 48 KUHP. “Penerima suap ini apabila dibawak paksaan atau tekanan tidak dapat dipidana,”
Ia menuturkan, ada dua jenis paksaan yakni vis obsuluta (paksaan yang absolut) dan vis compulsive (paksaan yang relatif), paksaan yang absolut yakni daya paksa kekuatan manusia dan alam, saya contohkan apabila tangan seseorang dipegang oleh orang lain dipukulkan kepada kaca sehingga kaca tersebut pecah maka orang pertama itu tidak dapat dipidana karena melakukan perusakan benda sebagaimana dipasal 406 KUHP.
“Oleh dasar itulah apabila dibawah paksaan atau tekanan tidak dapat dipidana,” jelas Fendi yang juga ketua PWI lamtim itu. (Rop)