LAMPUNG TENGAH – Hidup dibawah garis kemiskinan di Lampung Tengah kembali menarik perhatian. Kali ini, datang dari kisah pilu 4 (empat) keluarga yang bertempat tinggal di Dusun III, Kampung Fajarbulan, Kecamatan Gunungsugih, Lampung Tengah.
Meski tidak memiliki penghasilan pasti setiap hari bahkan pekerjaan tetap. Empat keluarga itu, terus bertahan hidup.
Mulai dari bekerja serabutan dan ada pula berjualan sapu lidi yang dihargai Rp 2.500.
Salah satu dari ke empat keluarga kurang mampu di Kampung Fajarbulan, Nenek Hariah (71) mengatakan bahwa dirinya hanya tinggal bersama suaminya yang bernama Jatrak (70). Dari pernikahannya, mereka berdua tidak memiliki keturanan.
Kata Hariah, suaminya memiliki kekurangan yaitu tunanetra serta mengalami gangguan jiwa. “Suami saya cacat dari lahir. Dia juga mengalami gangguan jiwa,” ujar Hariah.
Untuk mencukupi kehidupan sehari-hari, dirinya hanya mengandalkan usaha pembuatan sapu lidi. Dimana bahannya hasil pemberian masyarakat setempat.
“Saya hanya mengandalkan usaha sapu lidi untuk makan sehari-hari bersama suaminya. Bahannya itu saya dapat karena dikasih tetangga. Sekali produksi paling banyak saya buat empat sapu lidi saja,” katanya.
Lanjut Hariah, usaha sapu lidi itu tidak bisa mencukupi kehidupannya sehari-hari. Bahkan, dirinya dan suaminya sering sekali tidak makan selama satu hari.
“Kalau hanya mengandalkan sapu lidi gak cukup untuk makan saja mas. Saya dan suami sering enggak makan selama satu hari,” ujarnya.
Hariah menjelaskan, bantuan PKH dari pemerintah hanya untuk berobat dia dan suami. “Bantuan PKH belum bisa membantu kami, karena uang itu sering dipakai untuk berobat dan beli obat di warung,” katanya.
Sementara itu, keluarga kurang mampu lainnya Nenek Sarinah (69), mengungkapkan bahwa dirinya hanya hidup sebatang kara. Untuk bertahan hidup Dirinya, membantu Hariah membuat sapu lidi yang hasil penjualannya dibagi dua.
“Saya hidup sebatang kara. Untuk mencukupi kehidupan sehari-hari, saya membantu Hariah membuat sapu lidi yang hasilnya dibagi dua,” katanya.
Ditanya soal bantuan PKH, Sariah mengaku tidak mendapatkan bantuan tersebut. “Saya enggak dapat bantuan PKH mas,” katanya pada wartawan.
Kembali ditanya, apa pernah tidak makan selama sehari?, dirinya pun mengaku sering mengalaminya.
“Kalau kelaparan atau tidak makan udah sering. Tapi, saya dan tetangga saya Hariah tidak pernah meminta belas kasih ke tetangga. Malah, tetangga kami yang datang memberi makanan atau uang,” ungkapnya sambil tersenyum.
Ditempat berbeda, yang juga keluarga kurang mampu nenek Masruh (75) mengungkapkan dia tinggal bersama cucunya Taufik (16). “Saya hanya tinggal sama cucu saya. Cucu saya enggak tamat sekolah. Tapi, cucu saya yang mencari makan untuk saya dengan kerja serabutan,” ujarnya.
Terpisah, Agus yang juga keluarga kurang mampu, menceritakan tentang kehidupannya yang dibawah garis kemiskinan. Dimana dirinya serba kebingungan untuk mencukupi istri dan satu anaknya yang masih kecil.
“Saya tidak memiliki perkerjaan tetap dan penghasilan yang pasti setiap harinya. Kerja serabutan asal dapat duit akan saya lakukan,” kata agus.
Tinggal dirumah ukuran 6×6 persegi, Agus merasa bersyukur karena memiliki tempat tinggal. “Meski rumah kecil mas. Yang penting bisa berteduh,” kata Agus.
Agus berharap Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lamteng bisa berkunjung ke rumahnya. Dengan begitu, mereka dapat melihat langsung kondisi yang dialaminya serta ketiga tetangganya.
“Kami harapkan ada perhatian dari dermawan, apabila Pemkab Lamteng enggan mengunjungi kami. Karena, kami ingin senang apabila ada yang memperhatikan kami meski tidak memberikan bantu,” pungkasnya. (red)