Angkernya Goa Simatu Pesisir Barat Diperuntukan Kawasan Wisata Alam

LAMPUNG – Historis Goa Simatu atau Goa Matu di Pekon Way Sindi Kecamatan Karya Penggawa Kabupaten Pesisir Barat Propinsi Lampung adalah tempat pertapaan seorang Raja pada 800 tahunan silam.

Dialah Prabu Brawijaya atau Raden Wijaya atau Jaya Wardana merupakan Raja Kerajaan Majapahit pertama yang bertapa pada sekitar abad ke 12 silam tepatnya pada tahun 1216 – 1217 (menurut Kitab Serat Pararaton).

Pertapaan itu berdekatan dengan lokasi Pemakaman Gajah Mada dan berjarak belasan kilometer dari Krui seperti diungkapkan oleh Syaiful Rohman (50) warga Tanjung Inten, Purbolinggo, Lampung Timur saat dirinya meniti perjalanan sejarah.

Hal itu wujud pengabdian Syaiful Rohman selaku Tim Manajemen di PT. Central Pertiwi Bahari (CPB) Lampung kepada Isman Hariyanto Direktur PT. Central Protena Prima (CPP) Lampung selaku pimpinan dan petunjuk dari Guru Spiritual bernama Gus Mur, ketiganya asal dari Kota Surabaya, Jawa Timur.

“Berawal dari kondisi PT. CPP Lampung Tengah Kantor Cabang Bandar Jaya perusahaan tambak udang tempat saya kerja mengalami musibah yaitu diserang penyakit,” tutur Syaiful Rohman kepada metrodeadline memulai ceritanya pada Kamis, 12 November 2020 jam 10.30 WIB di Kantor Desa Tanjung Inten.

“Oleh karena itu, sebagai pimpinan perusahaan, Isman atasan saya berinisiatif cari bantuan dengan cara mohon bantuan doa dari alim ulama, singkat cerita berjalannya waktu bertemulah seorang ulama dari Surabaya Jawa Timur bernama Gus Mur,” urainya.

“Sayalah yang diperintahkan oleh pimpinan untuk kesana menemui Gus Mur dengan tujuan meniti perjalanan sejarah agar menemukan apa penangkal penyakit yang telah melanda perusahaan yang sedang dihadapi.”

“Seakan sia-sia perjalanan kami sebab setibanya disana ditempat Gus Mur, justru sebaliknya kami diperintahkan untuk kembali meniti perjalanan bersejarah dengan cara pulang ke Lampung.”

“Berangkat dari Kantor PT. CPB Lampung di Bratasena Adiwarna, Gedung Meneng, Tulang Bawang, melalui beliau saya diberi petunjuk untuk pergi (gunakan kendaraan roda 4) kearah Utara, padahal itu belum jelas dimana tempat yang akan dituju ketika itu.”

“Dalam perjalanan kearah Utara dengan cara mengikuti petunjuk yaitu dipandu oleh Gus Mur dari jarak jauh pakai handphone, kebetulan waktu itu baru-barunya keluar produksi handphone sekitar tahun 2000-an.”

“Dari petunjuk beliau, akhirnya kendaraan kami disuruh berhenti oleh Gus Mur di Krui Lampung Barat, sayapun turun dan disuruh berjalan kaki (belasan kilometer) ke arah Bengkulu searah petilasan makam Patih Gajah Mada, kata beliau.”

“Saya diarahkan beliau menelusuri tepi pantai, disuruh masuk ke sebuah Goa, Goa itulah tempat Prabu Brawijaya Raja Kerajaan Majapahit pertama bernama Raden Wijaya melakukan tapa.”

“Waktu saya mau masuk, tapi sesampai di pintu masuk Goa berjumpa dengan orang tidak dikenal, sayapun diam tidak kenalan ataupun memperkenalkan diri.”

“Tapi meskipun kami tidak kenalan, beliau itu bertanya, “ada perlu apa mas”, tanyanya dengan ramah, kebetulan suasana ketika itu menjelang petang nunggu surut air laut yang sedang pasang,”

“Pertanyaan orang itupun saya jawab, “bapak, saya kesini disuruh Gus Mur guru saya, saya diamanahkan nuggu jatuhnya watu gumantung (batu tergantung), untuk itu saya mohon izin masuk, jawab saya.”

“Walaupun sebenarnya perihal (Batu Gumantung) itu tidak sesuai dengan nalar dan diluar logika saya, berhubung ini perintah pimpinan dan titah guru, maka tetap saja saya laksanakan.”

“Padahal, di dalam hati nurani ini berkecamuk perang batin, karena hal itu antara logika dan non logika tidak sesuai dengan ilmu pendidikan yang saya peroleh.”

“Saya disuruh masuk ke Goa oleh orang tak dikenal itu, karena beliaulah yang mengetahui secara persis tentang seluk-beluk liku-likunya lokasi Goa itu.”

“Didalam Goa itu, ternyata terdapat 4 lubang, menurut cerita orang tak dikenal itu, keempat lubang itu dapat menembus ke empat penjuru.”

“Lubang arah Selatan tembus ke laut pantai Selatan, yang ke Utara tembus sampai ujung pulau Andalas (Sumatera), yang ke arah Timur menembus sepanjang negeri kita (NKRI) di ufuk Timur dan lubang yang ke arah Barat tembus hingga sampai ke tanah suci Mekah.”

“Saya minta petunjuk dengan beliau (orang tak dikenal) karena saya sudah tidak bisa lagi untuk berkomunikasi dengan guru saya Gus Mur sebab susah signal tidak ada jaringan hingga putus komunikasi.”

“Saya bertanya, “izin pak dimana letak Batu Gumantung”, kemudian beliau itu menjawab, “mudah-mudahan di lubang yang menghadap kearah Utara mas, karena disitu ada tempat Prabu Brawijaya tapa, itulah informasi yang saya ketahui dari orang tak dikenal itu.”

“Sayapun tidak terlalu banyak bertanya, melainkan langsung saja masuk, hanya sebelum saya masuk, kata beliau, maaf saya tidak bisa menemani, setelah itu orang itupun menghilang.”

“Dengan keyakinan saya langsung masuk ke Goa itu, jarak perjalanan saya lebih kurang 150 meter dari tempat kami pertemuan semula yang mana posisi masih berada didalam Goa.”

“Saya melangkahkan kaki kesitu, ternyata tempatnya cukup luas, disitu ada batu berwarna hitam yang sangat bersih, seakan-akan bekas tempat orang duduk bersila laksana orang bertapa.”

“Cuma ukuran luas batu itu seperti tidak wajar apabila dibandingkan dengan postur tubuh saya, saya punya keyakinan pasti berhasil untuk meniti maka saya harus duduk ditempat itu.”

“Setelah duduk bertapa di batu hitam itu selama 3 hari 3 malam, sembari bertapa saya mengamalkan amalan yang telah diberikan oleh Gus Mur.”

“Hasil tapa yang saya dapatkan adalah batu sebesar kepalan tangan orang dewasa, mungkin itu namanya watu gemantung (batu tergantung) yang jatuhnya tepat dihadapan saya saat bertapa pada hari ke 3.”

“Batu itu saya masukkan ke dalam tas dan langsung akan beranjak pulang, namun sempat menunggu air laut yang sedang pasang surut, setelah itu saya langsung pulang.”

“Sesampainya saya, langsung menyerahkan Batu Gumantung ke pimpinan, pimpinan langsung komunikasi dengan Gus Mur menyampaikan apabila saya sudah kembali dari meniti perjalanan.”

“Saat pimpinan berkomunikasi, Gus Mur memberikan petunjuk, agar supaya mencari orang yang bisa mimpin ritual, tujuan mengungkap misteri apa yang tersimpan didalam Batu Gumantung itu.”

“Ternyata setelah dilakukan ritual, munculah disamping Batu Gumantung itu sebuah batu berukuran kecil warna merah tua (merah delima) sebesar biji jagung.”

“Batu itu disuruhnya dimasukkan kedalam air, ternyata setelah direndam dalam air, dari batu itu bermunculan gelembung-gelembung berwarna merah.”

“Lalu pimpinan kembali minta petunjuk dari Gus Mur, lalu Gus Mur menganjurkan agar air itu disiramkan ke sumber air yang berada dilokasi tambak udang.”

“Syukur Alhamdulillah berkat ridho dari Allah SWT melalui acara ritual atas batu gemantung itu, kondisi perusahaan tambak udang bisa bangkit dan berjaya kembali.”

“Gus Mur menyampaikan kepada saya, mas, batu (merah) itu punya Gajah Mada yang dipinjamkan ke perusahaan untuk kemaslahatan umat (kesejahteraan masyarakat).”

“Tapi semua itu ada masa berlakunya, karena suatu saat batu itu pasti diambil kembali oleh pemiliknya dalam kurun waktu tertentu.”

“Faktanya yang terjadi memang demikian, setelah batu itu hilang dari PT. CPB, maka terjadilah keruntuhan PT.CPB sekitar tahun 2013-2014 sampai saat ini.”

“Apakah memang benar demikian dilatarbelakangi hal itu penyebabnya, namun semua itu hanya Allah SWT yang maha mengetahui, Wallahualam.”

“Pada waktu didalam Goa ada cahaya dari sinar matahari yang hampir ditutupi akar pohon dari atas (Bukit Barisan), kata beliau (orang tak dikenal tersebut) Goa itu bernama Goa Gerong cukup luas tempat bersarang kelelawar.”

“Sedangkan didalam Goa Gerong masih terdapat Goa lagi bernama Goa Simatu yang menjadi sarang burung walet putih, tapi siapapun yang masuk Goa Simatu itu dengan niat tidak baik maka tidak akan selamat.”

“Jarak antara Goa Gerong dengan petilasan Makam Gajah Mada sekitar 1 kilometer terletak di tanjakan di pinggir jalan raya arah Bengkulu dan disekelilingnya ada jurang.”

“Dulu makam hanya ada 1, yaitu petilasan makam Gajah Mada, makam dan disekelilingnya bersih, kalaupun ada makam lain mungkin itu makam pengikut atau makam juru kunci.”

“Versi orang Surfi menurut Gus Mur petilasan adalah tempat yang pernah di lalui atau tempat persinggahan orang-orang sakti yang memiliki ilmu tingkat tinggi pada jaman dahulu.”

“Sehingga tempat persinggahan itu kemudian diberi tanda dan ditinggalkan benda-benda, tempat itulah yang kemudian dikeramatkan, diera modern sekarang disebut sebagai prasasti.”

“Siapa, dimana dan sampai kapanpun tidak mungkin akan ada yang bisa menemukan dimana keberadaan makam Gajah Mada, yang ada itu hanyalah petilasan tempatnya singgah.”

“Pimpinan (Direktur PT. CPB Lampung) saya pak Isman Hariyanto pulang ke Jawa Timur setelah perusahaan gulung tikar, sedangkan saya (Syaiful Rohman) pulang kesini,” pungkas Kasi Keamanan Desa Tanjung Inten.

Hanafiah pegawai Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Pesisir Barat mengatakan pihaknya secara kedinasan pernah melakukan kunjungan kerja ke lokasi petilasan makam Gajah Mada namun pihaknya tidak menemukan data pendukung.

“Saya sudah pernah sampai disana, menurut pengamatan tidak ada data/studi pendukung yang menguatkan, karena kalau dilokasi juga nggak ada catatan tulisan aksara kuno yang lain,” tutur Hanafiah kepada metrodeadline pada Selasa, 3 November 2020 pukul 21.07 WIB melalui WhatsApp.

Ia tidak pernah mendengar keberadaan Goa Gerong, tapi melainkan Goa Matu, tempatnya terbilang angker dan tidak boleh sembarang orang masuk tempat itu kecuali didampingi oleh juru kunci.

“Goa Gerong nggak pernah denger, kalau Goa Matu ada, tempatnya serem, nggak boleh terlalu jauh masuk, itu juga harus ditemenin kuncen,” kata pegawai BAPPEDA Kabupaten Pesisir Barat pada Kamis, 12 November 2020 pukul 19.51 WIB.

Kini, terhitung sejak Juni 2011 Goa Simatu dikembangkan menjadi objek wisata alam oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Barat, setelah secara administratif terjadi pemekaran wilayah pada Oktober 2012 pengembangan dilanjutkan Pemerintah Kabupaten Pesisir Barat bernama Goa Matu.

Sementara di Desa Sukadana Baru Kecamatan Marga Tiga Kabupaten Lampung Timur, terdapat objek wisata alam bernama Puncak Pawiki, konon historisnya Pawiki berasal dari bahasa daerah asli Suku Lampung yaitu Pek Wikei (Tempat Trenggiling).

Selain terdapat Trenggiling, di Gunung Pawiki terletak di arah Tenggara terdapat Goa yang konon menurut cerita masyarakat turun temurun terdapat seorang pertapa lebih kurang selama 1,200 tahun tepatnya sejak tahun 800 Masehi belum keluar-keluar dari dalam Goa, sesuai historisnya disebut dengan nama Goa Pek Wikei atau Gunung Pek Wikei.

(Ropian Kunang)

You might also like

error: Content is protected !!