Bawa 10 Tuntutan, Massa Juga Pertanyakan Silpa Diam-Diam Sudah Digunakan Rp30 M

 

METRO – Sejumlah massa yang tergabung dalam Ormas Gema Masyarakat Lokal (GML) menggelar unjuk rasa di kantor Walikota Metro, Rabu (4/9/2019).

 

Mereka membawa 10 tuntutan atas kepimpinan Pairin-Djohan (Paidjo), salah satunya mempertanyakan silfa tahun 2018 sebesar Rp85 miliar,  sudah digunakan diam-diam sebesar Rp30 miliar.

 

Koordinator aksi unjuk rasa, Slamet Riadi mengatakan, bahwa aksi yang dilakukan merupakan bentuk kekecewaan kepemimpinan Paidjo selama kurun waktu hampir empat tahun terakhir.

 

Gagal Serap DAK, Massa Minta Evaluasi Pejabat Terkait

 

Dikatakannya, 10 point pernyataan sikap dan tuntutannya, di antaranya terkait penyerapan bantuan Dana Alokasi Khusus (DAK) tahun 2019.

 

“Dari total DAK sebesar Rp 164,629 miliar lebih, Pemkot Metro tidak mampu menyerap secara keseluruhan dana bantuan tersebut. Aparat penegak hukum harus mendalami persoalan ini.

 

Apalagi jika alasannya terjadi sanggah dan banding dalam lelang kegiatan fisik yang didanai DAK. Apa waktunya kurang? Harus ada yang bertanggung jawab dalam hal ini,” kata Slamet Riadi.

 

 

Pihaknya juga mendesak Walikota Metro mengevaluasi satker terkait pertanggungjawaban pengelolaan DAK, karena berarti ada masalah yang serius, wanprestasi, tidak proporsional dan tidak maksimal serta tidak berkapasitas dalam bekerja untuk rakyat.

 

 

“Kami mendesak agar pejabat tersebut dicopot jabatannya,” kecam Slamet Riadi.

 

 

Pada bagian lain, Slamet Riadi juga mempertanyakan proyek Flying Fox tahun 2017 yang menelan anggaran miliaran rupiah tapi mangkrak.

 

 

“Ini tidak sesuai dengan visi dan misi Kota Metro untuk mewujudkan kota wisata keluarga. “Juga proyek Puskeskel di Kelurahan Yosorejo yang tidak selesai. Harus ada yang bertanggung jawab dalam hal ini,” bebernya.

 

Pada bagian lain, Ormas GML juga mempertanyakan dana sisa lebih perhitungan tahun anggaran (silpa) tahun 2018 sebesar Rp 85 miliar, yang diam-diam sudah digunakan sebesar Rp 30 miliar.

 

“Kami mempertanyakan penggunaan dana tersebut. Ini sebagai bentuk transparansi,” ujar Slamet Riadi.

 

Selain itu, lanjut dia, anggaran paket proyek fisik pada Dinas PUTR tahun 2019 sebesar Rp 98 miliar, juga harus dievaluasi terkait hasil pekerjaan.

 

“Bentuk tim pengawas independent, karena ada beberapa kegiatan yang dikerjakan tidak maksimal hasilnya,” kata dia.

 

Atas berbagai persoalan tersebut, Slamet Riadi menuntut Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) untuk menyusun anggaran sejalan dengan plafon visi dan misi Kota Metro yang pro rakyat dan pendidikan.

 

Terakhir, Ormas GML juga meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memantau dan mengawasi kinerja Walikota Metro.

 

 

“Ini dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang good government,” tutup Slamet Riadi.

 

Sementara unjuk rasa sempat memanas ricuh, dorong dorongan antara massa dan polisi dikarenakan pejabat setempat lama dalam menerima massa demonstran.

 

Usai berorasi, sejumlah perwakilan diajak berdialog oleh Walikota Metro Achmad Pairin, didampingi sejumlah pejabat lain, seperti Sekkot A Nasir, dan Asisten I.

 

 

Menanggapi tuntutan massa, sejumlah satker terkait menjelaskan berbagai persoalan, seperti akan menganggarkan proyek yang belum selesai.

 

Menanggapi penjelasan tersebut, Ketua DPD GML Slamet Riadi menyatakan, Pemkot baru menjawab empat dari 10 point tuntutannya.

 

Bahkan, jawaban dimaksud tidak dilengkapi dengan data bukti pendukung.

 

“Untuk itu, kami akan mengadakan aksi susulan dengan membawa massa GML yang lebih besar, hingga jawaban yang diberikan benar-benar sesuai dengan harapan,” ungkap dia. (Red)

You might also like

error: Content is protected !!