Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang dikucurkan Pemerintah Pusat tujuan dasarnya menjalankan amanat Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945. Bahwa setiap warga Negara berhak mendapat pendidikan, setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Pendidikan gratis juga diatur dalam UU 20/2003 tentang Sisdiknas. Sekolah tingkat dasar (SD dan SMP sekolah sederajat lainnya) mutlak tidak diperkenankan adanya pungutan kepada siswa dalam bentuk apapun. Menjadi kontroversi untuk tingkat atas, SMA dan SMK serta sekolah sederajat lainnya, tidak masuk dalam kategori pendidikan dasar.
Sejak tahun 2012, sekolah tingkat atas juga telah mendapatkan kucuran dana BOS. Artinya guna pembiayaan seluruh operasional sekolah tingkat atas telah diakomodir melalui dana BOS. Sehingga, balik lagi tujuan dasar dikucurkannya dana BOS, maka termasuk sekolah tingkat atas tidak diperkenankan melakukan pengutan kepada siswa. Namun dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan, sekolah tingkat atas masih dimungkinkan melakukan pungutan.
Konteks pungutan yang dibolehkan adalah guna peningkatan mutu pendidikan. Contohnya ujian praktek di SMK yang tidak memiliki guru dengan latar belakang pendidikan sesuai keahlian yang akan diuji. Sehingga pihak sekolah terpaksa “memanggil” pihak luar, honorarium bagi pihak luar tersebut tidak terakomodir dalam dana BOS, sehingga penting dilakukan pungutan. Pun demikian, pungutan terkait mutu pendidikan di sekolah tingkat atas, tetap tidak diperkenankan memungut dari siswa yang tidak mampu secara ekonomi.
Perihal di atas sekilas menjelaskan aturan serta kebijakan yang telah ada terkait pendidikan gratis. Tulisan ini ingin menguraikan permasalahan yang lebih teknis lagi terkait uang komite. Pungutan komite muncul sejak bergulirnya dana BOS, karena konsekuensi dari itu, pungutan yang dilakukan pihak sekolah semacam SPP tidak lagi diperkenankan. Maka “ikhtiar” (bila kata modus terlalu kasar) dari sekolah bersama komite yang merupakan unsur dari orang tua siswa, tokoh masyarakat dan pihak yang peduli pendidikan, menarik pungutan yang dinamakan uang komite.
Beda lagi dengan uang pembangunan yang dipungut di awal masuk sekolah (jumlahnya bervariasi ada sekolah menamainya dana investasi sebesar Rp. 2,3 juta per-siswa), uang komite dipungut tiap bulan per-siswa dengan besaran jumlah tiap sekolah bervariasi, termasuk jumlah pungutan uang berbeda bagi siswa per-angkatan.
Mayoritas sekolah (sepengetahuan saya) memungut uang Komite diangka ratusan ribu rupiah hingga jutaan rupiah masih terjadi di provinsi Lampung, Khususnya Kota Metro. Namun demikian, ada juga beberapa sekolah yang tidak lagi memungut uang komite lantaran takut terjerat hukum. Mereka pengurus (Komite Red) saat ini lebih memilih tiarap dan bungkam soal pungutan uang komite, dan sebagaian besar mereka berdalih tidak diwajibkan dan banyak juga yang tidak membayar.
Larangan Pungutan Uang Komite
Pungutan komite yang terus berlangsung sejak dana BOS bergulir, memunculkan keresahan dikalangan masyarakat. Pemerintah selalu mendengungkan bahwa pendidikan gratis, tetapi kenyataannya masih juga ada biaya atau pungutan yang dilakukan. Sehingga Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan menerbitkan Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah.
Hal fundamental dalam aturan ini terkait pungutan terdapat dalam Pasal 12 huruf b, Komite Sekolah, baik perseorangan maupun kolektif dilarang melakukan pungutan dari peserta didik atau orang tua/walinya. TEGAS, Komite Sekolah DILARANG MELAKUKAN PUNGUTAN. Termasuk tidak boleh menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam dan bahan pakaian seragam di Sekolah, diatur dalam huruf a. Komite Sekolah diperkenankan melakukan penggalangan dana, dengan ketentuan-ketentuan jelas sebagaimana diatur dalam Permendikbud 75/2016.
Tampaknya aturan ini belum diindahkan oleh banyak sekolah dengan dalih dana BOS tidak mencukupi, salah satunya untuk membayar guru honorer. Benarkah demikian?
- Ilustrasi ini mudah-mudahan bisa menjawab pertanyaan tersebut. Kita pukul rata jumlah siswa dalam jumlah menengah, 7 rombel atau kelas dengan jumlah siswa 27 orang, berarti satu angkatan berjumlah 189 siswa. Jumlah pungutan untuk kelas 1 sebesar Rp. 100 ribu per-bulan (dikali 189 siswa) hasilnya Rp. 18.900.000,-, kelas 2 Rp. 75 ribu (kali 189) hasilnya Rp. 14.175.000,- dan kelas 3 Rp. 50 ribu (kali 189), hasilnya Rp. 9.450.000,-, sehingga perbulan pungutan komite menghasilkan uang Rp. 42.525.000,- atau setahun Rp. 510.300.000,-.
Jumlah tersebut bisa lebih besar atau lebih kecil, tergantung jumlah siswa dan besaran pungutan yang dalam bahasanya “disepakati”. Jumlah juga bisa lebih sedikit jika ada siswa yang tidak membayar dan/atau ada yang “dibebaskan” dari pungutan karena dianggap tidak mampu secara ekonomi. Dan jumlah itu juga belum termasuk uang pembangunan atau uang investasi yang biasanya dibebankan kepada para siswa yang baru masuk sekolah. Jumlahnya pun variatif, misal per-siswa baru dipungut Rp 1 juta, tinggal kalikan saja 189 orang.
Mungkinkah jumlah pemasukan tersebut untuk membayar gaji guru honor? Alasan lain biasanya adalah untuk membangun atau memperbaiki fasilitas sekolah demi kenyamanan belajar siswa. Saya tekankan bahwa pembangunan fisik sekolah seperti penambahan ruang belajar, pembangunan toilet, pembuatan pagar sekolah, bukanlah tanggung jawab peserta didik atau orang tua/walinya.
Semua itu merupakan tanggung jawab pemerintah daerah, melalui instansi terkait. Bila kondisi darurat. Misalnya ruang kelas belajar bocor atau roboh sehingga proses belajar mengajar tidak dapat dilakukan, maka pemerintah daerah wajib memprioritaskan perbaikan kerusakan tersebut.
Dan komite sekolah boleh berinisiatif untuk melakukan penggalangan dana kepada orang tua siswa dengan tidak menetapkan jumlah sumbangan (menetapkan jumlah sumbangan artinya melakukan pungutan), atau membuat proposal yang diajukan ke perusahaan-perusahaan (tidak boleh perusahaan rokok), pengusaha-pengusaha serta tokoh pendidikan (tidak boleh ke partai politik) yang peduli.
Lantas pertanyaannya kemana larinya uang komite? Untuk siapa uang komite tersebut?
Tulisan ini tidak untuk menjawab pertanyaan itu, mari kita renungkan dan fikir bersama. Memperbaiki kondisi pendidikan di Provinsi Lampung, khususnya di Kota Berjuluk Kota Pendidikan tercinta ini membutuhkan kepedulian semua pihak. Sikap kritis dari pihak “dalam” sekolah sangat dibutuhkan.
Untuk itu kita berharap kepada guru-guru yang memiliki idealisme serta hati nurani, pengurus komite dan siswa atau Osis yang geram dengan pungutan-pungutan tidak berdasar hukum, bersuaralah, lakukanlah gerakan perbaikan. Ombudsman Republik Indonesia sebagai lembaga pengawas pelayanan publik, Tim Saber Pungli selalu siap merespon laporan dari pihak “dalam” tersebut. Untuk pemangku kepentingan terutama Kepala Daerah jangan hanya diam, lakukan tindakan dan ambil langkah kebijakan yang tepat, sesegera mungkin. (*)
Penulis :Freddy Kurniawan Sandi/Wartawan Madya