Selasar Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Selasa pekan lalu, ramai dikunjungi warga. Mereka datang ke sana untuk beragam kepentingan. Di ruang sidang dua, para pencari keadilan saling berganti masuk. Seorang perempuan dan seorang laki-laki yang tampak masih muda memasuki ruang sidang. Keduanya tak lama di dalam ruang sidang, hanya sekitar 10 menit. Rupanya, majelis hakim menunda sidang hingga usai Lebaran.
Pasangan muda itu, seperti puluhan pasangan lain yang datang ke Pengadilan Agama Jakarta Selatan, sedang mengikuti proses perceraian. Proses serupa juga berlangsung di Pengadilan Agama lain yang tersebar di seluruh Indonesia, meskipun dengan intensitas dan kuantitas yang berbeda. Bagi yang bukan beragama Islam, proses perceraian dilangsungkan di Pengadilan Negeri (Peradilan Umum).
Data yang dihimpun dari Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung memperlihatkan perceraian di Indonesia cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2014 terjadi 344.237 perceraian; dan angka ini naik menjadi 365.633 pada tahun 2016. Bagaimana dengan tahun 2017?
Laporan Tahunan Mahkamah Agung Tahun 2017 menunjukkan jumlah perkara perceraian yang sampai ke tingkat kasasi di lingkungan Peradilan Umum adalah 166 perkara, menempati posisi kelima dari 10 kategori perkara perdata umum. Tetapi di lingkungan Peradilan Agama, sengketa perkawinan menempati posisi nomor wahid di tingkat kasasi jika dibandingkan delapan klasifikasi perkara lainnya (waris, ekonomi syarah, hibah dll). Jumlah perkara perceraian yang masuk ke tingkat kasasi adalah 647. Angka ini tak mencerminkan total perkara perceraian karena tak semua pihak berperkara mengajukan upaya kasasi. Bisa jadi, perceraian sudah putus dan berkekuatan hukum tetap pada tingkat pertama.
(Baca juga: Langkah Hukum Jika Mantan Suami Menolak Menafkahi Mantan Isteri)
Laporan yang sama menunjukkan angka lain. Perkara perceraian yang masuk ke Pengadilan Negeri pada tahun 2017 mencapai 13.526 perkara. Di Pengadilan Agama jumlahnya jauh lebih besar, seperti terlihat pada tabel beban perkara perceraian berikut.
Klasifikasi | Sisa 2016 | Masuk 2017 | Total beban |
Cerai gugat | 51.019 | 301.573 | 352.592 |
Cerai talak | 19.268 | 113.937 | 133.205 |
Sumber: Laptah MA Tahun 2017
Pada prinsipnya bercerai adalah perbuatan yang boleh dilakukan, tetapi dibenci oleh Tuhan. Begitulah perspektif Islam memandang perceraian. Banyak konsekuensi yang timbul di kemudian hari jika terjadi perceraian. Baik konsekuensi terhadap suami atau istri, maupun terhadap anak-anak mereka. Dari perspektif peraturan perundang-undangan di Indonesia, perceraian membawa akibat hukum.
Pasal 38 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menegaskan perkawinan putus karena kematian, perceraian; atau atas putusan pengadilan. Putusnya perkawinan mengakibatkan beberapa hal.Pertama, ibu dan ayah tetap punya kewajiban memelihara dan mendidik anak-anak berdasarkan kepentingan anak. Jika ada perselisihan mengenai penguasaan anak, pengadilan memberi keputusan.Kedua, ayah yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak. Jika ayah tidak dapat memenuhi kewajiban itu, pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut. Ketiga, pengadilan dapat mewajibkan kepada suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi mantan istri.
Meskipun ada akibat hukumnya, perceraian tetap menjadi pilihan jika suami istri tak bisa disatukan lagi dalam rumah tangga. Laporan Tahunan Mahkamah Agung Tahun 2017 memperlihatkan perceraian masih mendominasi perkara di lingkungan perdata khusus.
Dalam hal terjadi perceraian akibat talak, umumnya suami dibebani kewajiban membayar nafkah istri dan anak-anaknya. Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan beberapa kewajiban suami jika terjadi perceraian akibat talak.Pertama, memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebutqobla al dukhul (suami istri belum pernah melakukan hubungan suami istri). Kedua, memberi nafkah, maskan atau kiswahkepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’inatau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil. Ketiga, melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya atau separuh jikaqolba al dukhul. Keempat, memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai usia 21 tahun.
(Baca juga: Bisakah Menuntut Ayah karena Tidak Memberi Nafkah?)
Pertanyaannya, bagaimana kalau suami tak membayar biaya atau tidak menjalankan kewajibannya? Secara normatif, ada dua jalur hukum yang bisa ditempuh. Jalur pertama adalah mengajukan gugatan perdata. Pilihan ini dapat dibaca dari rumusan Pasal 34 UU Perkawinan, yang menyebutkan suami melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Sebaliknya, istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan ke pengadilan. Namun, jika dicermati, pasal ini sebenarnya mengatur upaya hukum yang bisa ditempuh saat suami isteri masih dalam ikatan rumah tangga.
Opsi kedua adalah menempuh upaya hukum pidana, melaporkan mantan suami yang tak membayar kewajiban ke polisi. Jika suami tak membayar nafkah, dan itu menyebabkan perceraian, suami bisa melaporkan suaminya kepada aparat penegak hukum. Sejak kehadiran UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), semakin mudah bagi penegak hukum untuk menghukum suami yang tak memenuhi kewajibannya dalam lingkup rumah tangga. Dalam banyak kasus yang sampai ke pengadilan, penuntut umum menggunakan klausula ‘menelantarkan orang lain’ yang disebut dalam Pasal 49juncto Pasal 9 UU PKDRT untuk menjerat pelaku. Banyak putusan hakim yang menghukum pelaku dengan pasal itu.
Berdasarkan aturan di atas, dipidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak 15 juta rupiah setiap orang yang menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (1); atau menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (2) UU PKDRT. Pasal 9 ayat (1) menjelaskan setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Ayat (2) menambahkan penelantaran dimaksud juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Putusan Mahkamah Agung No. 398 K/Pid.Sus/2015, misalnya, menyatakan terdakwa (S) terbukti bersalah melakukan penelantaran orang lain dalam lingkup rumah tangganya karena meninggalkan istri dan dua anaknya. Pengadilan menetapkan hukuman 4 bulan penjara dengan ketentuan pidana tersebut tak perlu dijalani kecuali jika di kemudian hari ada perintah lain berdasarkan putusan hakim oleh karena terdakwa melakukan perbuatan yang dapat dipidana sebelum lewat waktu 8 bulan. Upaya jaksa mengajukan banding dan kasasi tak membuahkan hasil meskipun jaksa mendalilkan hukuman 4 bulan itu tak sesuai dengan rasa keadilan dalam masyarakat. Bagi majelis, kondisi terdakwa memungkinkan ia dibebaskan dari dakwaan.
Tak Menghapus Pidana
Tindakan meninggalkan istri tanpa memberi kabar dan memberi nafkah setelah pernikahan sah juga bisa mengantarkan seorang suami ke meja hijau. Tersebutlah seorang suami yang pergi tanpa pamit begitu selesai pesta perkawinan. Alih-alih memberi nafkah, suami justru kabur tak kembali lagi. Yang terjadi kemudian adalah permohonan cerai talak di Pengadilan Agama.
Pengadilan Agama mewajibkan suami membayar uang iddah, mut’ah, masa lampau, dan biaya melahirkan sebesar Rp8 juta. Putusan perceraian di Pengadilan Agama itu tak menghalangi proses pidana. Si suami diajukan ke meja hijau. Penuntut umum menggunakan Pasal 49 huruf a joPasal 9 ayat (1) UU PKDRT dan menuntut hukuman enam bulan penjara. Hakim PN Bima menjatuhkan hukuman separuhnya dan terdakwa tak perlu menjalani hukuman itu dalam masa percobaan enam bulan.
Perkara pidana penelantaran istri itu berlanjut ke kasasi. Dalam putusan kasasi No. 2387 K/Pid.Sus/2015, majelis hakim agung memutuskan menolak permohonan kasasi pemohon. Salah satu pertimbangan yang menarik dalam putusan ini adalah alasan tidak menghapus pidana. Menurut majelis, meskipun terdakwa sudah membayar biaya iddah, mut’ah, masa lampau dan uang melahirkan, ‘kesemuanya tidak menghapus pidananya’. Dengan kata lain, membayar kewajiban yang diputuskan Pengadilan Agama, tak menghalangi Pengadilan Negeri menjatuhkan hukuman kepada suami yang menelantarkan isteri dan anak-anaknya.
Baca:
- Kenali Bentuk Perkawinan yang Dilarang Hukum di Indonesia
- Ketika Mahar Harus Bermanfaat Bagi Calon Istri
Pasal 304 KUHP
Sebelum UU PKDRT lahir, salah satu yang menarik dalam konteks ini adalah penerapan Pasal 304 KUH Pidana terhadap suami yang tidak memberikan nafkah kepada istri dan anak-anaknya. Seorang pria di Boyolali telah meninggalkan istri dan anak-anaknya sehingga ia dibawa ke pengadilan. Perkara ini sampai ke Mahkamah Agung.
Di Pengadilan Negeri, majelis hakim menyatakan perbuatan terdakwa terbukti tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana. Karena itu, terdakwa dilepas dari segala tuntutan hukum. Di Mahkamah Agung (Putusan No. 1978K/Pid/1990), majelis hakim mempertimbangkan frasa ‘keadaan sengsara’ atau hulpeloze toestand dalam Pasal 304 KUH Pidana tidak terbukti. Untuk dapat dikatakan memenuhi frasa itu terdakwa harus dengan sengaja tidak menyediakan atau memberi nafkah nafkah yang dibutuhkan orang itu untuk hidup dengan kesadaran dan pengetahuan tentang ketidakmampuan orang itu untuk memperoleh sendiri nafkah, sedangkan bantuan dari keluarganya tidak bisa diharapkan.
Berdasarkan pemeriksaan atas fakta kasus ini teryata terdakwa tidak dapat mencukupi diri sendiri sewajarnya; sewaktu ditinggalkan, isteri dan anak-anak masuk ikut sama orang tua isteri; dan isteri bekerja sebagai PNS sehingga isteri juga harus memelihara dan mendidik anaknya (Pasal 45 UU Perkawinan). Dalam amarnya, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi penuntut umum, membatalkan putusan PN Boyolali, dan menyatakan terdakwa tidak terbukti bersalah melakukan kejahatan yang didakwakan kepadanya. Terdakwa pun akhirnya dibebaskan.
Pasal 304 KUHP menyatakan barangsiapa dengan sengaja menyebabkan atau membiarkan orang dalam kesengsaraan, sedang ia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan pada orang itu karena hukum yang berlaku atasnya atau karena menurut perjanjian, dihukum penjara selama-lamanya 2 tahun 8 bulan atau denda sebanyak-banyaknya 4.500 rupiah (sebelum penyesuaian).
Tampaknya, suami harus berpikir ulang untuk menelantarkan istri dan anak-anaknya jika tidak ingin terjerat masalah hukum di kemudian hari.
Sumber :Hukumonline.com