Ilustrasi PerangIlustrasi Perang (Foto:en.wikimedia.org)
“Kalau nanti cari jodoh, jangan orang Jawa, ya, Bi,” ujar ibuku. Aku bingung, kenapa ibu melarang aku menikahi orang Jawa? Lantas, aku ajukan beberapa pertanyaan.
“Memang kenapa, Bu? Apa salahnya menikahi orang Jawa?”
“Bisi teu junun, jeung sangsara (Takut tidak langgeng, dan sengsara),” katanya.
Tak mau berdebat, aku iyakan saja keinginan ibu. 10 tahun berlalu, saat aku bergelut di dunia kesusastraan, dalam novel Ayu Utami, berjudul “Bilang FU”, ada hal menarik yang menjelaskan sejarah pertikaian Kerajaan Sunda dan Jawa. Mungkin, inilah cikal-bakal terbentuknya pemikiran ibu.
Dalam buku itu dijelaskan, dahulu, Kerajaan Majapahit (Jawa) dan Kerajaan Pajajaran (Sunda), terlibat konflik yang cukup pelik, hingga menimbulkan peperangan di antara keduanya. Sejarah kelam itu dikenal dengan sebutan tragedi Perang Bubat.
Perang Bubat ditengarai oleh Raja Hayam Wuruk yang ingin menikahi Putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Negeri Sunda. Konon, ketertarikan Hayam Wuruk terhadap putri tersebut didasari dengan beredarnya lukisan sang putri di Majapahit, yang dilukis secara diam-diam oleh seniman bernama Sungging Prabangkara.
Awalnya, Hayam Wuruk memang berniat untuk memperistri Dyah Pitaloka dengan didorong alasan politik, yakni untuk mengikat persekutuan dengan Negeri Sunda. Atas restu dari keluarga Kerajaan Majapahit, ia mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamar sang putri.
Upacara pernikahan direncakan akan berlangsung di Majapahit. Maharaja Linggabuana lalu berangkat dengan rombongan dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat.
Raja Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan Putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit prajurit. Menurut Kidung Sundayana, hal ini menimbulkan niat Mahapatih Gajah Mada untuk menguasai Kerajaan Sunda. Ia ingin memenuhi Sumpah Palapa yang dibuatnya sebelum Hayam Wuruk naik takhta. Sebab, dari berbagai kerajaan di Nusantara yang sudah ditaklukan, hanya Kerajaan Sunda yang belum dikuasai.
Dengan maksud tersebut, Gajah Mada membuat alasan bahwa kedatangan Kerajaan Sunda di Pesanggarahan Bubat adalah bentuk penyerahan diri kepada Majapahit. Ia mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, melainkan sebagai simbol takluknya Negeri Sunda dan pengakuan superioritas Majapahit di Nusantara.
Pada saat itu, Hayam Wuruk merasa bimbang atas permintaan tersebut. Mengingat, Gajah Mada merupakan Mahapatih yang diandalkan oleh Majapahit.
Pihak Pajajaran tidak terima penyerahan Dyah Pitaloka dianggap sebagai simbol takluknya Pajajaran kepada Majapahit. Akibatnya, terjadilah insiden perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gajah Mada.
Ketika Hayam Wuruk belum memberikan keputusan, pasukan Gajah Mada telah melakukan pergerakan dengan mengerahkan pasukan Bhayangkara ke Pesanggrahan Bubat, kemudian mengancam Linggabuana untuk mengakui kekuasaan Majapahit. Namun, Linggabuana menolak mentah-mentah permintaan tersebut.
Perang antarkeduanya tak bisa terelakkan lagi, dengan pasukan yang terbatas, Linggabuana bersama menteri, dan pejabat lainnya berjuang habis-habisan melawan pasukan Gajah Mada. Pasukan Linggabuana bersama segenap keluarga kerajaan tewas di Pesanggrahan Bubat.
Sedangkan Putri Dyah Pitaloka, melakukan bela pati (bunuh diri) untuk menjaga kehormatannya. Menurut tata perilaku dan nilai yang berlaku di kasta ksatria, tindakan bunuh diri merupakan ritual yang dilakukan oleh wanita kasta tersebut, saat kaum laki-laki gugur dalam peperangan.
Buntut dari peristiwa ini, hubungan Hayam Wuruk dan Gajah Mada menjadi renggang. Tidak hanya itu, hubungan kenegaraan antara Majapahit dan Pajajaran menjadi tidak harmonis.
Pangeran Niskalawatu Kancana, yakni adik dari Putri Dyah Pitaloka, naik takhta menjadi Prabu Niskalawastu Kancana (Pangeran Niskalawatu Kancana satu-satunya keturunan kerajaan yang masih hidup karena tidak ikut berperang di Pesanggrahan Bubat).
Ia memutuskan hubungan diplomatik dengan Majapahit sekaligus mengeluarkan larangan esti ti luaran (beristri dari luar) bagi kalangan kerabat Negeri Sunda. Peraturan itu diartikan sebagai larangan menikah dengan orang Jawa.
***
Hal inilah yang masih dipegang teguh oleh sebagian masyarakat Sunda, salah satunya adalah ibuku. Uniknya, saat aku memberikan pertanyaan ihwal sejarah itu, ibu tidak mengetahuinya dengan pasti. Dia menyebutkan bahwa pantangan itu sudah turun-temurun dari nenek moyangnya.
Mungkin, yang dilakukan ibu adalah bentuk kepatuhan kepada dogma yang diberikan sang leluhur. Terlepas dari ketidaktahuan sejarah, mitos memang selalu menjadi acuan seseorang untuk menghormati nenek moyangnya.
Oh iya, perlu diketahui, bahwa pertikaian antara suku Sunda dan Jawa, secara resmi telah berakhir. Hal ini ditandai dengan peresmian beberapa nama jalan baru di Yogyakarta.
Dilansir dari kumparan.com, Gubernur Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, dan Wali Kota Bandung Ridwan Kamil, meresmikan nama baru untuk Jalan Ring Road Yogyakarta pada Selasa, 3 Oktober 2017.
Jalur melingkar sepanjang 36,73 kilometer itu kini bernama Jalan Siliwangi, Jalan Pajajaran, Jalan Majapahit, Jalan Ahmad Yani, Jalan Prof Dr. Wiryono Projodikoro SH, dan Jalan Brawijaya. Momen itu dianggap menandai berakhirnya perselisihan antara suku Sunda dan Jawa.
Semoga saja, dengan diresmikannya beberapa nama jalan tersebut, bisa menjadi titik balik dari perdamaian antara suku Sunda dan Jawa. Sehingga, tak ada lagi larangan bagi orang Sunda untuk menikahi orang Jawa. Terutama bagi aku.
———————————–
Artikel ini aku persembahkan untuk Ibu.
Sumber referensi: kumparan.com, Novel Ayu Utami: Bilangan FU